Rabu, 05 November 2025

Masih Ada Harapan Ketika Bayang-bayang Hoax dan Disinformasi Membayangi COP30

Beberapa waktu lalu saya menghadiri sesi online gathering bersama ClimaColab dengan mengundang beberapa narasumber dari Brazil. Adapun topik yang dibahas dalam online gathering ini yakni berkaitan dengan perubahan iklim, COP30, disinformasi serta hoax yang menyertainya.

Sedari awal saya sudah tertarik karena ini pertama kalinya saya menghadiri event lintas negara, lintas benua, dengan penutur menggunakan bahasa Portugis diselingi Inggris.  

FYI manteman, tahun ini Brazil didaulat sebagai tuan rumah dalam helatan internasional COP30. Apa itu COP30? COP30 merupakan konferensi bergengsi skala global yang memfokuskan pada isu perubahan iklim. Kebetulan Conference of the Parties (COP) atau Konferensi Para Pihak ke 30 diselenggarakan di Kota Belem, Brazil pada 10-21 November 2025 mendatang. Tahun sebelumnya COP29 berlangsung di Azerbaijan.

Helatan COP pertama kali diadakan di Berlin, Jerman pada tahun 1995. Dari pertemuan seperti COP ini di tahun-tahun selanjutnya menetaslah beberapa hasil seperti Protokol Kyoto dan Perjanjian Paris.

Apa sih urgensi dan kegentingan yang sedang dihadapi dunia sehingga banyak negara berkumpul, bernegosiasi, dan membuat kesepakatan-kesepakatan terkait iklim ini? Ternyata komunikasi yang terjalin diharapkan mampu menentukan tinjauan strategis dan komitmen bersama negara anggota guna mitigasi dan beradaptasi terhadap dampak nyata perubahan iklim yang melanda dunia.

Negara-negara seperti China dan Amerika Serikat dengan raksasa industrinya sudah selayaknya bertanggung jawab terhadap polusi udara, jejak karbon, dan kerusakan gas rumah kaca di atmosfer yang terjadi selama puluhan tahun dan berdampak secara global. Namun Donald Trump, Presiden terpilih Amerika Serikat, sangat antipati bahkan tak percaya pada isu-isu terkait perubahan iklim dan pemanasan global. Trump malah menuduh bahwa isu ini adalah hoaks dan penipuan yang sengaja dibuat untuk menyerang dan melemahkan Amerika Serikat. Sudah banyak media yang mengulas hal ini. 

Pernyataan-pernyataan Trump yang tendensius, kontroversial tapi tanpa dasar sontak memicu kemarahan publik. Tidak hanya publik di Amerika Serikat, tetapi juga di dunia, di komunitas juga forum-forum ilmiah. Karena Trump, Amerika menarik diri dari Perjanjian Paris 2015. Trump sesumbar akan semakin menggencarkan pengeboran gas, minyak, dan batubara alih-alih mendukung agenda hijau dan energi terbarukan.

Oleh karenanya, konferensi para pihak COP30 tahun ini menghadapi tantangan yang tidak main-main. Di satu sisi pemimpin-pemimpin negara yang apatis seperti Donald Trump yang pro energi fosil berkontribusi menciptakan kebencian dan penghasutan yang tidak berdasar. Di sisi lain, era digital membuat hoaks dan asimetri informasi kian merebak melalui media sosial dan internet.

Informasi bohong, seperti kabar bahwa Belem tidak siap sebagai tuan rumah termasuk jalan rusak, sampah berserakan, kekurangan hotel, persiapan yang tidak matang, dan risiko kesehatan, dibesar-besarkan pembuat hoaks di media sosial. Lokasi lain diedit dan dimanipulasi seolah-olah itu Belem sehingga memicu kemarahan publik.

Thais Lazzeri (pendiri FALA-Impact Studio) dalam slide presentasinya memaparkan Integritas informasi sangat penting untuk aksi iklim. Namun, Brazil menghadapi tantangan kritis: misinformasi iklim yang secara aktif menghambat kemajuan Brazil menuju tujuan iklim yang disepakati secara internasional

Sebagai tuan rumah, Brazil mendorong dialog yang inklusif dan berfokus pada tantangan yang dihadapi negara berkembang dalam mengatasi perubahan iklim. Brazil juga menyoroti pentingnya menjaga ekosistem hutan tropis Amazon yang menjadi salah satu fokus utama dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Harapannya keputusan-keputusan yang diambil nanti semakin membuka mata dunia sehingga target-target ambisius mendukung agenda hijau semakin diutamakan.

Cinthia Leone (Climate Diplomacy Coodinator, ClimaInfo & GSCC) menuturkan bahwasanya isu yang dibawa COP kali ini tidak hanya memberikan dampak di Brazil saja tetapi juga negara-negara lain seperti halnya Indonesia.

Indonesia dan Brazil memiliki beberapa kesamaan. Terletak di garis khatulistiwa, keduanya sama-sama negara berkembang yang memiliki hutan tropis yang luas di dunia dan keanekaragaman hayati yang besar. Masyarakat adat yang tinggal di kawasan hutan menjadi garda penjaga sekaligus pelestari lingkungan. Isu-isu krusial seperti perubahan iklim dan transisi energi menjadi PR yang tengah dihadapi bersama. Agenda seperti COP30 membuat Brazil dan Indonesia duduk bareng sembari mencari solusi berdampak di tengah derasnya arus disinformasi dan hoaks.

Harus ada katalisator yang mendorong perubahan (catalizadores de mudancas). Faktor-faktor seperti integrasi informasi mendorong kesadaran publik dan kolaborasi. Peran pendidikan media meningkatkan pemahaman dan keterlibatan masyarakat. 

Para konten kreator juga perlu dilibatkan untuk memahami esensi dan urgensi terhadap isu-isu lingkungan. Intinya kolaborasi melalui konten positif yang menarik dan informatif sangatlah dibutuhkan sebagai upaya mitigasi perubahan iklim.

Saya sebagai masyarakat awam bisa berbicara dalam konteks tulisan. Setidaknya melalui artikel di blog saya mendukung terselenggaranya COP30 di Brazil dan semoga Indonesia mampu berkomitmen penuh membuat regulasi yang mendukung transisi energi, penurunan emisi karbon, perlindungan hutan dan masyarakat adat sehingga berkontribusi pada ketahanan iklim domestik dan pemulihan iklim secara global.

Saya percaya ada banyak cara untuk menghempas narasi-narasi negatif dan disinformasi yang membayangi COP30. Harapan itu masih ada dan akan terus ada. Kontribusi sekecil apapun kita baik dalam bentuk sepotong tweet di platform X atau video di Tiktok bisa menjadi angin segar melawan kebohongan yang direkayasa. Yuk dukung terlaksananya COP30. Tak ada kata menyerah melawan hoaks!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar