Kamis, 18 November 2021

Biofuel Sebagai Bahan Bakar Nabati untuk Masa Depan

Saya pernah berada di suatu masa ketika di kosan kehabisan gas, saya dan teman kos memutari daerah sekitar Depok (Sleman) hanya untuk mencari gas. Ternyata kami tidak sendiri, tetangga kosan juga mengalami hal yang sama. Hasilnya, kami pulang ke kosan dengan tangan kosong karena stok gas di mana-mana sudah habis. Kami harus menunggu kira-kira seminggu lagi untuk mendapatkan pasokan tabung gas baru. Untuk beberapa hari ke depan, kami tidak memasak di kosan, tetapi ngulineran di Burjo atau warung makan sekitar. 

Kita ini sangat bergantung bahkan ketergantungan pada energi fosil yang tentunya persediaannya semakin lama semakin menipis. Eksplorasi sumur minyak baru masihlah terus digalakkan, pertanyaannya, apakah nantinya bakal mencukupi kebutuhan untuk sektor rumah tangga dan industri, sedangkan permintaannya sangat tinggi, tapi persediaan kian hari kian berkurang. 

Maka dari itu diperlukan penelitian dan eksplorasi lebih lanjut mengenai alternatif energi baru dan terbarukan untuk masa depan. Sebenarnya ada banyak sumber alternatif untuk energi terbarukan, semisal energi panas bumi, energi bayu, energi mikrohidro, dan lain sebagainya. Selain itu ada juga yang namanya bio energy yang berasal dari tumbuhan atau lebih dikenal dengan istilah biofuel. Biofuel ini bisa digunakan sebagai alternatif Bahan Bakar Nabati (BBN) yang ramah lingkungan.

Pada kesempatan kali ini saya berkesempatan belajar dan diskusi mengenai BIOFUEL yang bisa menjadi alternatif energi baru dan terbarukan pada "Online Gathering Mengenal Lebih Jauh Tentang Biofuel" yang diselenggarakan berkat kerjasama Blogger Perempuan x Madani Berkelanjutan x Traction Energy Asia.

Dalam online gathering tersebut, turut mengundang Ricky Amukti selaku Engagement Manager Traction Energy Asia dan juga Kukuh Sembodho selaku Program Assistan Biofuel Yayasan Madani Berkelanjutan.

Sebenarnya apa sih Biofuel itu? Secara sederhana biofuel diartikan sebagai bahan bakar yang komponennya berasal dari tumbuhan (bahan nabati). Nah, ada beberapa jenis dari biofuel yakni bioetanol, biogas, dan biodiesel.

Mari saya jelaskan satu per satu: 

A) Bioetanol merupakan sumber energi alternatif dari tanaman berpati, misal gandum dan jagung.

B) Biogas merupakan gas yang dihasilkan dari fermentasi kotoran hewan

C) Biodiesel dapat dikatakan sebagai bahan bakar pengganti BBM yang tentunya berasal minyak nabati.

Ketergantungan pada energi fosil yang cepat habis tanpa mencari alternatif pengganti bisa berakibat fatal, risikonya akan terjadi krisis energi. Krisis energi tengah dihadapi China. Dikuti dari CNBC pada Oktober 2021 setidaknya ada 20 propinsi yang mengalami kekurangan pasokan listrik. Karena tiadanya listrik ini, para pekerja pabrik diminta naik tangga jika sebelumnya menggunakan elevator. Selain itu, terjadi pemadaman listrik selama berhari-hari. Perlu diketahui bahwasanya di sektor energi, China masih menggunakan batubara sebagai energi untuk menjalankan PLTA. Batu bara menyumbang 70% ketersediaan listrik di China. 

Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia pun sama. Masih ketergantungan dengan bahan bakar dari energi kotor (batubara) untuk menghasilkan listrik di pelosok negeri. Maka dari itu, untuk mengantisipasi terjadinya krisis energi, diperlukan sumber energi alternatif seperti biofuel di atas.

Saat ini sawit layak dijadikan sebagai bahan bakar nabati pengganti BBM. Disamping karena produksinya yang melimpah dan ketersediaan lahan yang luas untuk sawit. Adapun pengembangan dan eksplorasi sawit (CPO) sebagai biofuel menjadi prioritas pemerintah melalui program Mandatory Biodiesel 20% atau B20. Selain B20, ada juga B30, dan seterusnya. 

Indonesia sudah memulai kebijakan Bahan Bakar Nabati Nasional dimulai di tahun 2006 yang kemudian dibuat roadmapnya pada tahun 2008. Tahun 2016 dibuatlah dokumen NDC (Nationally Determined Contribution) pertama di Indonesia. Dokumen NDC ini menjelaskan komitmen dan aksi iklim sebuah negara yang dikomunikasikan kepada dunia melalui UNCFF (United Nations Framework Convention on Climate Change).

Selain sawit, ada alternatif bahan bakar nabati lainnya yang bisa dikembangkan di Indonesia seperti jarak, kelapa, bunga matahari, dan sebagainya. 

Satu hal lagi, ternyata MINYAK JELANTAH, alias minyak bekas pakai buat menggoreng yang warnanya sudah hitam tak keruan itu bisa lho dimanfaatkan sebagai bahan biodiesel. Minyak jelantah memiliki potensi dan tantangan tersendiri untuk dijadikan sebagai bahan bakar nabati. Daripada terbuang sia-sia, minyak jelantah ini jika diolah bisa menjadi sesuatu yang bernilai ekonomi. 

Biodiesel dari limbah jelantah adalah produk yang dapat digunakan untuk mengurangi porsi solar dalam bahan bakar mesin diesel, baik dalam sektor industri maupun sektor transportasi. Dalam studi yang dilakukan International Council on Clean Transportation (ICCT) bersama Koaksi Indonesia bulan September 2018 menyebutkan bahwa potensi produksi biodiesel dari limbah jelantah dapat mencapai 2.36 juta KL atau sekitar 84 persen dari produksi biodiesel nasional saat ini. Sayangnya, angka ini masih menjadi potensi dan belum dieksplorasi karena belum adanya kebijakan pendukung yang memadai (sumber: Coaction Indonesia).

Minyak jelantah. Sumber : kompas.com

Berdasarkan infografis yang saya dapat dari online gathering, minyak jelantah jika dikumpulkan dari sektor rumah tangga memiliki kapasitas sebanyak 1,6 juta kiloliter. Tantangan yang dihadapi dalam upaya mencari sumber bahan bakar nabati yang berasal dari minyak jelantah ini yakni ketersediaan bahan baku. teknologi pengolahan, biaya, dan juga investasi. 

Kesimpulan, saya pikir ada banyak sekali potensi bahan bakar nabati di sekitar kita, entah dari sawit, minyak jelantah, jarak, dan sebagainya. Tinggal bagaimana kita mampu memanfaatkan peluang sekaligus mengatasi tantangan/hambatan dalam berinovasi menemukan bahan bakar nabati untuk masa depan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar