Selasa, 08 Juni 2021

Karhutla dan Dampaknya yang Patut Kita Waspadai

Saya ingat banget di tahun 2015 akibat kabut asap yang berlarut-larut dan membubung tinggi di langit membuat penerbangan Jogja-Palembang tertunda sementara waktu. Hal tersebut membuat Nita, rekan satu organisasi saya terpaksa menunda kepulangannya ke kampung halaman. Nita terlihat sedih, pasalnya sudah setahun dia menunda kepulangan ke Palembang karena fokus menyelesaikan studi. Itu artinya jika tahun 2015 Nita tidak mudik, genap 2 tahun Nita tinggal di Jogja. Jarak pandang menjadi terganggu. Kualitas udara menjadi buruk.

Asap pekat akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun 2015 menjadi bencana kebakaran terburuk dalam satu dekade (2005 hingga 2015). Kebakaran tersebut membabat sebagian lahan di kawasan Sumatera dan Kalimantan. Dikutip dari Tempo, Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Pengendalian Kebakaran Hutan Sumatera Selatan, hingga 10 November luas lahan yang terbakar mencapai 612.833 hektare. Sebanyak 60% kebakaran terjadi di lahan gambut. Kementerian Lingkungan Hidup mencatat sekitar 2,6 juta hektare hutan dan lahan yang terbakar dengan 120 titik di sepanjang Juni hingga Oktober 2015.

Kebakaran hutan tidak hanya merusak pohon-pohon dan juga ekosistem, tetapi juga menimbulkan penyakit pernapasan dari level ringan hingga akut. Asap yang membubung tinggi menyebabkan para warga tidak bisa beraktivitas seperti biasanya. Selain itu, kepulan asap ini menyebar hingga ke negeri tetangga seperti Malaysia dan Singapura sehingga menyebabkan hubungan diplomatik antarnegara menjadi terganggu.

Bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh pada tanggal 5 Juni Kemarin, Auriga dan Yayasan Asri mengadakan Webinar bertajuk "Cegah Karhutla, Cegah Pandemi." Berharap melalui edukasi semacam ini menjadikan kesadaran kita untuk peduli terhadap isu-isu lingkungan hidup, khususnya perlindungan hutan semakin bertambah.
Narasumber pertama yakni Dedy Sukmara selaku Direktur Informasi dan Data Auriga Nusantara. Narasumber kedua seorang dokter yang juga menjabat sebagai Direktur Klinik Alam Sehat Lestari (Yayasan Asri) yakni Dr. Alvi Muldani. 

Kemarau panjang (El Nino) digadang-gadang sebagai penyebab kebakaran hutan yang tak berkesudahan. Nyatanya, aktivitas manusia turut berkontribusi pada kebakaran hutan. Kebakaran juga memiliki pola-pola dan jangka waktu yang bisa diamati, tutur Dedy Sukmara. Berikut data yang saya dapatkan berdasarkan webinar tersebut.
Berdasarkan data dalam kurun waktu 5 tahun terakhir dapat disimpulkan bahawa kebakaran tahun 2015 dan 2019 menjadi yang terburuk sepanjang 5 tahun terakhir ini. Bahkan pada tahun 2019 jumlah emisi gas rumah kaca yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan tahun 2015. Adapun propinsi yang terdampak cukup parah yakni Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Papua. 

Dapur asap dalam kurun 2001 hingga 2019 sebagian besar titik api berasal dari lahan gambut di Kalimantan Tengah, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, hingga Papua.

Menurut Dedy Sukmara, penyebab kebakaran hutan disebabkan oleh faktor alami dan faktor manusia. Faktor alam penyebab kebakaran hutan meliputi kemarau panjang, petir, aktivitas vulkanis, dan sebagainya. Manusia berkontribusi pada bencana karhutla melalui praktek pembukaan lahan dengan membakar, perburuan dan penebangan liar, penggembalaan, konflik lahan, dan aktivitas lainnya.

Kita perlu waspada jika terjadi kebakaran hutan karena karhutla ini memiliki berbagai dampak negatif yang bagi kelangsungan hidup manusia dan juga ekosistem sekitarnya. Berikut dampak dari bencana karhutla:

1. Karhutla merupakan mimpi buruk bagi kita. Karthutla berefek pada penyebaran kabut asap yang mengancam kesehatan manusia. Berbagai penyakit muncul akibat cemaran kabut asap seperti pilek, sakit tenggorokan, bronkitis, radang paru-paru, dan sejenisnya.

2. Akibat karhutla, hewan-hewan liar yang berasal dari hutan yang ternyata sebagai pembawa patogen berbahaya mendatangi pemukiman. Selain hewan pembawa patogen, hewan buas seperti macan dan anjing hutan masuk ke pemukiman warga. Selain itu, fauna dan flora endemik yang terancam musnah semakin mendekati ancaman kepunahan.

3. Vegetasi hutan terancam hilang akibatnya berpengaruh terhadap pemanasan global dan perubahan iklim.

4. Aktivitas dan produktivitas manusia terhenti sementara. Transportasi lumpuh, jaringan internet terkendala, demikian juga di sektor pendidikan diliburkan sementara waktu.

5. Kerugian Indonesia akibat karhutla di sepanjang 2019 mencapai US$ 5,2 miliar atau setara Rp72,95 triliun.

Alvi Muldani dari Alam Sehat Lestari menjelaskan deforestasi selain menyebabkan karhutla juga membuat penyebaran zoonosis semakin merajalela. Apa itu Zoonosis? Zoonosis merupakan penyakit yang penyebarannya diakibatkan oleh hewan. Terutama hewan pembawa patogen seperti yang sudah saya jelaskan di awal. Zoonosis memicu terjadinya epidemi dan pandemi. Pandemi virus Covid19 diduga asal muasalnya berawal dari kelelawar yang telah terjangkit virus tersebut di daerah Wuhan yang menyebarkannya ke seluruh dunia.
Fragmentasi hutan yang diakibatkan oleh deforestasi dan juga lanskap serupa seperti lahan pertanian dan padang rumput bisa menjadi faktor penyebab zoonosis. Ketika deforestasi terjadi, beberapa spesies menurun. Akan tetapi spesies lainnya mampu beradaptasi sehingga meningkatkan zoonosis. Konservasi hewan liar dapat membuat hewan liar berada di habitatnya sehingga menghentikan penyebaran patogen hingga ke pemukiman penduduk. 

Bumi kita saat ini sedang sakit, karhutla dan dampaknya itu nyata adanya. Kepedulian kita terhadap isu-isu lingkungan serta aksi-aksi untuk pemulihan ekosistem menjadi hal-hal yang seharusnya diupayakan umat manusia dewasa ini. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar