Sabtu, 04 Juli 2020

Mangrove, Laut, Perubahan Iklim, Kesadaran Konservasi, hingga Bijak Berwisata.

Mangrove atau bakau dikenal sebagai tetumbuhan yang hidup di perairan dekat pantai, rawa-rawa di air payau. habitat mangrove dipengaruhi oleh pasang surut air laut. perlu diketahui bahwasanya garis pantai indonesia merupakan garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada dengan panjang 95,181 km2. Dengan garis pantai sepanjang itu, Indonesia memiliki 23% ekosistem mangrove dunia yakni sebesar 3.489.140,68 Ha (sumber : Kementerian Lingkungan Hidup). Kondisi mangrove yang baik, menyimpan sejuta harapan serta potensi-potensi seperti sebagai ruang konservasi, ekowisata, serta sumber keanekaragaman hayati yang melimpah. Keanekaragaman hayati ini bisa dimanfaatkan secara biologis, ekologis maupun ekonomis.

Berdasarkan data yang bersumber dari Kementerian kelautan dan perikanan 2015, vegetasi mangrove mampu menyumbang USD 1,5 miliar terhadap perekonomian nasional ditinjau dari sektor perikanan. Itu artinya secara ekonomi, vegetasi mangrove mampu memberikan pendapatan kepada masyarakat di daerah itu melalui pengelolaan dan pemberdayaan keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya, termasuk potensi ekowisata. Berikutnya, secara biologis, mangrove menjadi tuan rumah bagi berbagai jenis biota laut seperti ikan, udang, kerang-kerangan, bahkan sampai ke mahkluk hidup tingkat paling mikroskopik sekalipun. Secara ekologis, mangrove berperan penting sebagai spektrum pencegah abrasi air laut, penghalang gelombang saat pasang naik, mitigasi bencana (setidaknya mampu menahan hempasan badai atau tsunami), adaptasi terhadap perubahan iklim, penjaga kualitas/siklus air dan masih banyak lagi manfaat lainnya. Mangrove mampu mengendapkan polutan yang melaluinya, seperti misalnya limbah tailing di Teluk Bintuni, Papua Selatan. Limbah tailing merupakan limbah murni dari hasil tambang (misal emas atau bijih besi) yang tertinggal di air.

Mengapa mangrove memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi? Sebab, mangrove memiliki perpaduan ekosistem darat dan laut yang memungkinkan berbagai makhluk hidup tumbuh dan berkembang. Beberapa jenis tumbuhan yang hidup di hutan mangrove meliputi terna, perdu, liana, nipah-nipahan, beberapa paku-pakuan, dan sebagainya. Adapun jenis satwa yang mampu beradaptasi pada daerah bakau meliputi ular, biawak, buaya air asin, bangau, elang, kera, dan masih banyak lagi. 

Namun sayang, meskipun mangrove memiliki peranan yang sangat signifikan dalam banyak hal, sungguh sangat ironis Indonesia juga menghadapi laju kerusakan mangrove terbesar di dunia yakni mencapai yakni 4.364 km2 atau sekitar 311 km2 per tahunnya (Sumber : Mongabay). Di kehidupan nyata, vegetasi mangrove semakin terkikis akibat alih fungsi lahan untuk perkebunan, permukiman, industri, dan sebagainya. Banyak upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak seperti pemerintah, LSM, CRS perusahaan, institusi pendidikan yang berperan dalam rehabilitasi hutan mangrove. Misal aksi tanam 7000 bibit bakau di Desa Bulu Cindea, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Aksi tersebut bertujuan untuk menjaga keanekaragaman hayati, konservasi, serta memenuhi standar praktik budidaya perikanan berkelanjutan bersertifikasi ASC (Aquaculture Stewardship Council).

Di Pekalongan, kota kelahiran saya, keberadaan mangrove atau hutan bakau sangat berperan, meskipun belum maksimal. Mangrove memiliki fungsi untuk menahan abrasi pantai dan serangan banjir rob. Namun sayang, meski memiliki lahan seluas kurang lebih 90 hektar, hutan-hutan penjaga bibir pantai utara Jawa Tengah ini belum mampu menahan gelombang laut seutuhnya. Bahkan sering diberitakan mengenai banjir rob yang menelan beberapa wilayah di Pekalongan bagian utara, daerah yang cukup rawan dengan abrasi air laut.

Saya mengunjungi Pusat Restorasi dan Pembelajaran Mangrove di Pekalongan ketika mudik lebaran tahun 2019 silam. Ekowisata Pekalongan Mengrove Park ini terletak di Kandang Panjang Kecamatan Pekalongan Utara. Di kawasan ini tersedia beberapa fasilitas infrastruktur pendukung pembelajaran seperti : fasilitas edukasi, fasilitas pembibitan, fasilitas penelitian, fasilitas ekonomi produktif (budidaya kepiting soka, budidaya rumput laut dan silvofishery - tumpang sari antara ikan, udang dan mangrove), fasilitas wisata kuliner, area pemancingan, dan masih banyak lagi.
Pusat Restorasi dan Pembelajaran Mangrove. Dokmentasi Pribadi
Dampak abrasi dan gelombang pasang air laut . Daratan yang semula kering tergenang air asin. Dokumentasi Pribadi
Sayangnya sore itu terjadi gelombang pasang air laut sehingga menyebabkan daratan tergenang air asin. Foto di atas sebelum tergenang air laut berupa tegelan semen. Ketika menjelang sore terjadi gelombang pasang air laut. Daratan tergenang. Motor-motor yang melewati daratan pun tetap akan melaju meskipun menerjang air yang dalamnya melebihi mata kaki. Bahkan kawasan mangrove pun kurang mampu menahan laju abrasi juga gelombang pasang air laut.
Daratan yang tergenang air laut di Pekalongan Mangrove Park. Dokumentasi Pribadi
Selain abrasi dan gelombang pasang, terdapat fenomena penurunan tanah (land Subsidence) yang terjadi sepanjang tahun. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Pekalongan saja, tetapi juga di beberapa kawasan sepanjang Pantai utara Jawa seperti Tegal, Pemalang, Brebes, Rembang, dan Demak. Berdasarkan penelitian Lembaga Partnership Kemitraan Tata Kelola Pemerintahan Pekalongan, penurunan tanah ini mampu mencapai 25 cm hingga 34 sentimeter atau hampir setengah meter sepanjang tahun. Dalam kondisi normal penurunan tanah ini bisa terjadi 3 cm hingga 5 cm. Namun, sayangnya industri-industri besar, pembuatan sumur air tanah, dan abrasi menyebabkan penurunan tanah bertambah hingga lebih dari 20 cm per tahun. Akibat Land Subsidence tersebut terjadilah banjir rob yang menenggelamkan beberapa kecamatan di wilayah Pekalongan. Gambar udara dari Drone AntaraNews.Com mendokumentasikan bagaimana banjir rob menelan hampir 70% wilayah yang ada di Pekalongan.

Fenomena ini membuat saya sedih, pasalnya sewaktu saya masih kecil (tahun 1996) keadaan tidaklah sedemikian rupa. Semenjak tahun 2002, Wilayah Pantai Utara Jawa, terkhusus Pekalongan terdampak perubahan iklim secara langsung. Hingga tahun 2018, 31% wilayah Pekalongan tergenang air laut bahkan hingga menjadi permanen. Suatu kondisi yang menggiriskan hati dan layak mendapatkan perhatian tidak hanya dari pemerintah, tetapi juga masyarakat.

Pada Desember 2017, banjir rob ini menyebabkan terendamnya 7 kelurahan di Pekalongan Utara,. ribuan orang mengungsi, menenggelamkan harapan warga untuk tertidur nyenyak, hingga membuat wabah penyakit seperti demam berdarah dan penyakit kulit disebabkan air kotor. Pada Mei 2018, banjir rob menyebabkan Lapas Pekalongan terendam air hingga kedalaman 80 cm, hal ini menjadikan 466 warga binaan lapas tersebut terpaksa harus dipindahkan.

Pengeboran air sumur tanah untuk industri besar (tekstil) dan industri rumah tangga (batik) menjadi salah satu pokok permasalahan penyebab banjir rob sepanjang tahun. Pembuatan sumur bor ini menyebabkan terjadinya land subsidence seperti yang sudah saya jelaskan di atas. Selain itu, limbah buangan yang dihanyutkan ke sungai dan bermuara ke laut menjadi masalah baru. Belum lagi dampak perubahan iklim seperti fenomena La Nina.
Akibat banjir rob, warga di Pekalongan banyak yang mengungsi. Dokumentasi Alifa Taufan.
Terjadinya pandemi Covid-19 membuat membuat bumi semakin membaik sebab menurunnya aktivitas manusia yang berdampak kerusakan pada alam dan lingkungan. Pandemi Covid-19 ini sedikit banyak menjadikan alam semakin sehat dan berseri. Apalagi semenjak industri-industri besar yang ada di Pekalongan membuat kebijakan meliburkan karyawannya untuk sementara waktu. Tak ada aktivitas pabrik. Tak ada asap. Tak ada polusi suara. Sangat sedikit limbah industri yang mengalir ke sungai-sungai. Perburuan ikan-ikan di Pantai Utara tidak semasif sebelumnya. Biota laut semakin banyak dan berkembang. Ekosistem laut (termasuk mangrove) menjadi lebih baik.

Menurunnya aktivitas manusia, tidak mengurangi kerusakan lingkungan akibat perubahan iklim. Dengan kata lain, perubahan iklim menjadi faktor yang cukup influensial jika dikaitkan dengan bencana-bencana yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia. Krisis iklim berupa pemanasan global misalnya, karena hal ini suhu bumi bertambah beberapa derajat celsius yaang membuat es di kutub mencair. Mencairnya es kutub membuat air di permukaan laut meningkat sehingga semakin menjorok ke daratan.
Guru Besar Bidang Kelautan Universitas Diponegoro, Prof. Muhammad Zuhairi dalam Ruang Publik KBR memaparkan bahwa daerah sepanjang Pantai Utara Jawa seperti Pekalongan akan mengalami pasang tinggi (rob), sehingga daerah-daerah di wilayah itu akan tergenang akibat peningkatan massa air. Perubahan iklim di Indonesia dipengaruhi oleh La Nina dan El Nino. La Nina berkaitan erat dengan suhu permukaan laut yang menyebabkan sirkulasi air dari daerah kutub ke daerah tropis menjadi lebih besar. Apabila massa air tersebut datang ke daratan, tetapi sistem drainase dalam kondisi baik, maka daerah itu akan cukup aman dan terbebas dari genangan. Namun, aktivitas manusia yang berhubungan dengan industri dan eksploitasi air tanah menyebabkan air tanah menjadi asin. Sehingga baik dampak perubahan iklim maupun aktivitas eksploitasi oleh manusia menyebabkan intrusi air laut dan struktur tanah berubah. Hasilnya adalah penurunan permukaan tanah, urai Prof. Muhammad Zainuri.

Prof. Muhammad Zainuri menambahkan bahwasanya menjoroknya garis pantai menuju ke darat, di Pekalongan sudah sepanjang 900 m, adapun Semarang sudah 2,3 Km. Jadi ada daerah yang dulunya daratan, kini menjadi genangan air laut. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah Kota Pekalongan sudah merencanakan pembangunan Giant Sea Wall (Tanggul Laut) dan beberapa polder.

Menurunnya aktivitas manusia di sepanjang garis pantai dan kawasan ekowisata hutan mangrove, membuat peneliti seperti Prof. Muhammad Zainuri dan rekan-rekan ketika melakukan rehabilitasi dan reklamasi wilayah menjadi lebih mudah. Alias tidak mengalami banyak kendala.

Kesadaran konservasi dan bijak berpariwisata merupakan salah satu langkah konkret yang bisa kita lakukan untuk mencegah kerusakan lingkungan lebih lanjut. Jangan sampai setelah new normal, pariwisata Indonesia menjadi tidak terkendali, menciptakan sampah di sana-sini, dan sejumlah masalah baru lainnya.

Berbicara mengenai kesadaran konservasi, saya akan sedikit bercerita mengenai bagaimana seorang konservator mengelola Ekowisata Mangrove yang ada di Selatan Pulau Jawa, tepatnya Ekowisata Wana Tirta Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dokumentasi ini saya rangkum sebelum Pandemi Covid-19.
Mbah Warso, Sang Konservator mangrove. Dokumentasi pribadi
Namanya Lengkapnya Warso Suwito. Namun, beliau kerap dipanggal Mbak Warso atau Pak Wito. Sosoknya begitu bersahaja, jauh dari publisitas. Ramah dan terbuka terhadap siapa saja yang ingin belajar. Siapa sangka bapak dua anak yang bekerja serabutan tersebut merupakan kader konservasi mangrove terbaik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan  pada tahun 2014.

Dengan mengenakan kaos biru, celana pendek, dan kaki telanjang, Mbah Warso mengajak saya berkeliling di sekitar Mangrove Wana Tirta.  Mangrove Wana Tirta dijadikan sebagai wisata edukasi berbasis konservasi bakau. Para peserta yang ikut dalam tur akan dijelaskan bagaimana pembibitan bakau, pengenalan manfaat bakau bagi kehidupan pesisir pantai, serta jenis-jenis vegetasi bakau yang bermanfaat dalam mengurangi laju abrasi air laut, penurunan daratan, serta menahan gelombang pasang naik.

Mbah Warso justru berharap banyak anak muda yang datang kemari. Terutama anak usia sekolah dasar. Mbah warso ingin mengajak agar anak muda mencintai lingkungan dan menjaga ekosistem Hutan Mangrove kerusakan. Mbah Warso berharap edukasi sedini mungkin mengenai cinta lingkungan hidup dan alam mampu meminimalisasi kasus pengrusakan alam dan lingkungan. Mbah Warso juga mengajak mahasiswa, LSM, pemerintah, dan pegiat lingkungan hidup dalam aksi tanam mangrove. Ikut dalam aksi penanaman 1000 bibit mangrove merupakan salah satu kontribusi saya dalam melestarikan lingkungan.
Membangun kesadaran konservasi melalui aksi tanam bakau. Dokumentasi pribadi
Membangun kesadaran konservasi melalui aksi tanam bakau. Dokumentasi pribadi
Itu di Kawasan Pantai Selatan Jawa, bagaimana membangun kesadaran konservasi di Kawasan Pantai Utara, terkhusus Pekalongan yang sering terkena dampak banjir rob sepanjang tahun? Di Pekalongan Mangrove Park sendiri sudah beberapa kali melakukan aksi tanam bakau/mangrove yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Salah satunya ini, penanaman 2.500 bibit bakau pada lokasi yang sudah ditentukan. Aksi ini justru banyak melibatkan anak sekolah.
Membangun kesadaran konservasi melalui aksi tanam bakau. Dokumentasi Hadi Lempe
Selain membangun kesadaran konservasi, Pemerintah Kota Pekalongan telah menempuh berbagai cara untuk menanggulangi masalah banjir rob. Berikut beberapa di antarannya.

1. Mengoperasikan 8 rumah pompa berkecepatan 800 liter hingga 2.000 liter per detik dan 8 mobil pompa air dengan kecepatan 200 liter per detik pada Januari 2019. Pompa-pompa ini berfungsi mengalirkan air banjir rob kembali ke laut.

2. Membangun Giant Sea Wall atau tanggul raksasa penahan rob. Pada September 2019, pengerjaan proyek tanggul laut sudah memasuki pemasangan sheet pile. Sheet Pile merupakan dinding vertikal yang berfungsi menahan tanah dan menahan merembesnya air ke dalam lubang galian, serta menjadi penahan utama tanggul laut. Selain itu sudah dilakukan pemasangan 260 tiang yang membentang dari Desa Panjang Baru dan Panjang Wetan (jaraknya mencapai 260 meter).

3. Normalisasi daerah air sungai yang bermuara ke laut melalui manajemen pengendalian air pada 3 sungai utama : Sungai Sragi Baru, Sungai Bremi, dan Sungai Meduri.  Normalisasi dilakukan dengan tujuan agar aliran air yang ada tidak menumpuk pada titik tertentu sehingga memungkinkan untuk dialirkan langsung menuju muara/laut.

4. Membangun polder. Sistem polder sendiri merupakan cara penanganan banjir rob dengan mengintegrasikan satu kesatuan pengelolaan tata air yang meliputi: sistem drainase kawasan, kolam retensi, tanggul keliling kawasan, pompa dan pintu air. Manajemen sistem tata air dilakukan dengan mengendalikan volume, debit, muka air, tata guna lahan dan lansekap. Dalam pengadaan polder, pemerintah Kota Pekalongan menyiapkan lahan kurang lebih seluas 5 hektare di wilayah Pekalongan Utara.

5. Membangun kesadaran konservasi dan kepedulian akan lingkungan melalui aksi tanam bakau di sepanjang bibir pantai, bersih-bersih Sungai Loji, dan pembuatan biopori. Dinas Lingkungan Hidup Pekalongan mencatat bahwa setiap harinya terdapat sekitar 2 ton sampah yang mengalir ke Sungai Loji. Itu belum termasuk buangan limbah industri makro dan mikro. Akan berbahaya jika limbah Sungai Loji bermuara ke laut, mengancam ekosistem laut. Aksi bersih-bersih berupa pungut sampah di sepanjang Sungai Loji yang melibatkan warga setempat diharapkan mampu membangun kesadaran warga untuk berperilaku hidup bersih serta peduli lingkungan.
Pewarna batik dari mangrove (Potensi produk olahan pendukung ekowisata mangrove di Pekalongan). Dokumentasi pribadi
Tepung mangrove (Potensi produk olahan pendukung ekowisata mangrove di Pekalongan). Dokumentasi pribadi
Kawasan mangrove memiliki potensi ekowisata luar biasa jika dikelola dengan baik. Di Pekalongan, beberapa jenis mangrove dapat diolah menjadi tepung mangrove untuk membuat aneka jenis kue serta pewarna alami batik. Potensi ini juga bisa menciptakan nilai ekonomis. Lalu bagaimana geliat pariwisata bahari selepas new normal? Menyambut dibukanya beberapa keran pariwisata, semua pegiat wisata maupun wisatawan wajib mematuhi protokol kesehatan yang dicanangkan pemerintah. Pembatasan-pembatasan tentu saja masih dilakukan, misal akses memancing tidak terbuka seperti sebelumnya, dibatasi hanya sekian orang per hari. Desa wisata bahari dan kawasan ekowisata melakukan kontrol penuh mengenai siapa saja yang berkunjung ke tempat wisata.

Berwisatalah dengan bijak. Jangan berwisata seperti orang lapar. Kenali potensi lokal yang ada. Berwisatalah dengan melibatkan warga sekitar dengan mencoba mencari apa yang dibutuhkan mereka, misal apakah warga setempat membutuhkan masker, hand sanitizer, dan sebagainya. Sebuah pesan tersirat Githa Anathasia, pengelola Kampung Wisata Arborek dalam diskusi ringan di Ruang Publik KBR.

Membangun kesadaran konservasi dan bijak berwisata di tengah pandemi. Langkah-langkah ini terbilang cukup sederhana, tetapi bisa berdampak di kemudian hari. Membuat mangrove, laut, dan segenap ekosistem kehidupan menjadi lebih baik.

                                                                                ***

Saya sudah berbagi pengalaman soal perubahan iklim. Kalian juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog “Perubahan Iklim” yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN). Syaratnya bisa selengkapnya lihat di sini ya.

Referensi Bacaan :

1. Selamatkan Pantai Pekalongan, Aksi Penanaman Mangrove Digalakkan, jateng.garudacitizen.com.
2. Banjir Rob Landa Warga Krapyak Pekalongan, jateng.garudacitizen.com.
3. Kawal Pembangunan Polder, Solusi Banjir Pekalongan, suaramerdeka.com.
4. Strategi Pekalongan Atasi Ancaman Banjir Berulang, bisnis.com.
5. Normalisasi atau Naturalisasi Sungai? Begini Bedanya, news.detik.com.
6. Pembangunan Tanggul Laut di Pekalongan Tunjukkan Progress Positif, antaranews.com.
7. Wisata Taman Mangrove Pekalongan, cintapekalongan.com.

1 komentar:

  1. Daerah Pantai Utara memang sudah warning soal banjir Rob ini. Apalagi bagi masyarakat pesisir yang notabene dekat dari bibir pantai. Risiko rumah mereka tenggelam begitu besar. Tak acungi jempol untuk berbagai pihak yang telah ikut serta dalam konservasi dengan menanam ribuan bibit Mangrove. Soalnya setahuk,u tanaman tersebut bisa jadi tanggul alami untuk menjaga daratan dari abrasi. Thanks artikelnya keren kak :)

    BalasHapus